A.M. Vianey Norpratiwi, SE.,M.Si
Abstract:
This paper investigated the effect of corporate governance to bond ratings and
bond yield. The proxies of corporate governance are institution ownership, independent
committe, audit committee, and managerial ownership. Those proxies are independent
variables, and the dependent variables are bond rating and bond yield. Logistic
regression (logit) is used to examine first hipothesis, and multiple regression is used to
examine second hypothesis. Sample are all bonds that issued period 2001-2003, and
data are collected from Surabaya Stock Exchage and PT PEFINDO.
The paper proved that implementation of corporate governance influences bond
ratings and yields. The existence of independent committee have positive effect to bond
rating but the opposite effect is to bond yield. The better of corporate governance
implementation the higher bond ratings, but bond yields will decresase.. The existence of
audit committee have negative effect to bond yield. It concluded that the existence of
aucit committee give effect for investor judgement.
PENDAHULUAN
Investasi digolongkan menjadi dua jenis, yaitu investasi dalam surat kepemilikan
(saham) dan investasi dalam surat utang (obligasi). Fabozzi (2000) mendefinisikan
obligasi sebagai suatu instrumen utang yang ditawarkan oleh penerbit (issuer) yang juga
disebut debitur atau peminjam (borrower) untuk membayar kembali kepada investor
(lender) sejumlah yang dipinjam ditambah bunga selama tahun yang ditentukan.
Obligasi lebih memberikan jaminan pengembalian dan keuntungan dibanding investasi
saham. Di Bursa Efek Surabaya sampai dengan tahun 2003 telah terdapat 92 emiten
yang menerbitkan obligasi dan 180 obligasi yang diperdagangkan. Hal ini menunjukkan
pasar obligasi merupakan suatu instrumen yang dapat dijadikan sebagai suatu alternatif
investasi.
Faerber (2000) menyatakan bahwa investor lebih memilih berinvestasi pada
obligasi dibanding saham karena dua alasan, yaitu: (1) volatilitas saham lebih tinggi
dibanding obligasi, sehingga mengurangi daya tarik investasi pada saham, dan (2)
obligasi menawarkan tingkat pengembalian yang positif dengan pendapatan tetap (fixed
income), sehingga obligasi lebih memberikan jaminan dibanding saham. Jewell dan
Livingston (2000) menyatakan bahwa investor menghadapi masalah informasi yang
disebabkan beragamnya karakteristik dari penerbit obligasi. Peringkat (rating) obligasi
yang diterbitkan oleh lembaga independen membantu mengurangi masalah informasi
tersebut. Selain peringkat, faktor lain yang dipertimbangkan oleh investor obligasi
adalah return obligasi. Return obligasi merupakan hasil yang akan diperoleh investor
apabila melakukan investasi pada obligasi. Return obligasi ini dinyatakan dalam yield.
Pada tahun 2001, Komite Nasional Kebijakan Corporate Governance
menerbitkan pedoman good corporate governance. Pedoman ini bertujuan agar dunia
bisnis memiliki acuan dasar yang memadahi mengenai konsep serta pola pelaksanaan
good corporate governance yang sesuai dengan pola internasional umumnya dan
Indonesia khususnya. Penerapan corporate governance diharapkan memaksimumkan
nilai perseroan bagi perseroan tersebut dan bagi pemegang saham. Ball (1998) dalam
Evans et al. (2002), mengartikan corporate governance sebagai seperangkat kesepakatan
atau aturan institusi yang secara efektif mengatur pengambilan keputusan. Corporate
governance mempunyai hubungan positif dengan peringkat obligasi dan berhubungan
negatif dengan yield obligasi (Bhojraj dan Sengupta, 2003).
Penelitian terhadap corporate governance di Indonesia banyak dihubungkan
dengan harga saham ataupun kinerja perusahaan. Penelitian corporate governance
terhadap obligasi di Indonesia merupakan penelitian yang jarang dilakukan. Hal ini
disebabkan karena keterbatasan data obligasi serta pengetahuan para investor terhadap
obligasi. Selain itu, Wansley et al. (1992) menyatakan bahwa sebagian besar
perdagangan obligasi dilakukan melalui pasar negosiasi (over the counter market) dan
secara historis tidak terdapat informasi harga yang tersedia pada saat penerbitan atau saat
penjualan. Dengan tidak tersedianya informasi tersebut membuat pasar obligasi menjadi
tidak semeriah pasar saham.
Tujuan penelitian ini adalah menguji pengaruh penerapan corporate governance
terhadap peringkat dan yield obligasi. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan
wawasan kepada para pembaca dalam melakukan investasi terhadap obligasi terutama
dalam mempertimbangkan penerapan corporate governance pada perusahaan penerbit.
Penelitian ini mengangkat isu mengenai pengaruh corporate governance terhadap
peringkat dan yield obligasi.
LANDASAN TEORI
TEORI KEAGENAN
Hubungan keagenan merupakan suatu kontrak antara principal dengan agent.
Menurut Darmawati et al. (2005), inti dari hubungan keagenan adalah adanya pemisahan
antara kepemilikan (principal/investor) dan pengendalian (agent/manajer). Kepemilikan
diwakili oleh investor mendelegasikan kewenangan kepada agen dalam hal ini manajer
untuk mengelola kekayaan investor. Investor mempunyai harapan bahwa dengan
mendelegasikan wewenang pengelolaan tersebut, mereka akan memperoleh keuntungan
dengan bertambahnya kekayaan dan kemakmuran investor.
Hubungan keagenan dapat menimbulkan masalah pada saat pihak-pihak yang
bersangkutan mempunyai tujuan yang berbeda. Pemilik modal menghendaki
bertambahnya kekayaan dan kemakmuran para pemilik modal, sedangkan manajer juga
menginginkan bertambahnya kesejahteraan bagi para manajer. Dengan demikian
muncullah konflik kepentingan antara pemilik (investor) dengan manajer (agen). Pemilik
lebih tertarik untuk memaksimumkan return dan harga sekuritas dari investasinya,
sedangkan manajer mempunyai kebutuhan psikologis dan ekonomi yang luas, termasuk
memaksimumkan kompensasinya. Kontrak yang dibuat antara pemilik dengan manajer
diharapkan dapat meminimumkan konflik antar kedua kepentingan tersebut. Alijoyo dan
Zaini (2004) beranggapan bahwa pemisahan fungsi eksekutif dan fungsi pengawasan
pada teori keagenan menciptakan “checks and balances”, sehingga terjadi independensi
yang sehat bagi para manajer untuk menghasilkan kinerja perusahaan yang maksimum
dan return yang memadahi bagi para pemegang saham.
Teori keagenan dilandasi dengan tiga asumsi (Eisenhardt, 1989), yaitu: asumsi
sifat manusia (human assumptions), asumsi keorganisasian (organizational assumptions),
dan asumsi informasi (information assumptions). Asumsi sifat manusia dikelompokkan
menjadi tiga, yaitu: (1) self-interest, yaitu sifat manusia untuk mengutamakan
kepentingan diri sendiri, (2) bounded-rationality, yaitu sifat manusia yang memiliki
keterbatasan rasionalitas, dan (3) risk aversion, yaitu sifat manusia yang lebih memilih
mengelak dari risiko. Asumsi keorganisasian dikelompokkan menjadi tiga, yaitu: (1)
konfik sebagian tujuan antar partisipan, (2) efisiensi sebagai suatu kriteria efektivitas, dan
(3) asimetri informasi antara pemilik dan agen. Asumsi informasi merupakan asumsi
yang menyatakan bahwa informasi merupakan suatu komoditas yang dapat dibeli. Teori
keagenan lebih menekankan pada penentuan pengaturan kontrak yang efisien dalam
hubungan pemilik dengan agen. Kontrak yang efisien adalah kontrak yang jelas untuk
masing-masing pihak yang berisi tentang hak dan kewajiban, sehingga dapat
meminimumkan konflik keagenan.
Corporate governance merupakan suatu mekanisme pengelolaan yang didasarkan
pada teori keagenan. Penerapan konsep corporate governance diharapkan memberikan
kepercayaan terhadap agen (manajemen) dalam mengelola kekayaan pemilik (investor),
dan pemilik menjadi lebih yakin bahwa agen tidak akan melakukan suatu kecurangan
untuk kesejahteraan agen.
CORPORATE GOVERNANCE
Corporate governance timbul karena kepentingan perusahaan untuk memastikan
kepada pihak penyandang dana (principal/investor) bahwa dana yang ditanamkan
digunakan secara tepat dan efisien. Selain itu dengan corporate governance, perusahaan
memberikan kepastian bahwa manajemen (agent) bertindak yang terbaik demi
kepentingan perusahaan. Forum for Corporate Governance in Indonesia/FCGI (2001b)
mendefinisikan corporate governance sebagai seperangkat peraturan yang mengatur
hubungan antara pemegang saham, pengurus (pengelola) perusahaan, pihak kreditur,
pemerintah, karyawan serta para pemegang kepentingan internal dan eksternal lainnya
yang berkaitan dengan hak-hak dan kewajiban mereka, sehingga menciptakan nilai
tambah bagi semua pihak yang berkepentingan (stakeholder). Nilai tambah yang
dimaksud adalah corporate governance memberikan perlindungan efektif terhadap
investor dalam memperoleh kembali investasinya dengan wajar dan bernilai tinggi.
Penerapan corporate governance memberikan empat manfaat (FCGI, 2001),
yaitu: (1) meningkatkan kinerja perusahaan melalui terciptanya proses pengambilan
keputusan yang lebih baik, meningkatkan efisiensi perusahaan, serta lebih meningkatkan
pelayanan kepada stakeholders, (2) mempermudah diperolehnya dana pembiayaan yang
lebih murah dan tidak rigit (karena faktor kepercayaan) yang pada akhirnya akan
meningkatkan corporate value, (3) mengembalikan kepercayaan investor untuk
menanamkan modalnya di Indonesia, dan (4) pemegang saham akan merasa puas dengan
kinerja perusahaan karena sekaligus akan meningkatkan shareholders’s values dan
dividen.
Sifat masalah keagenan secara langsung berhubungan dengan struktur
kepemilikan. Strukur kepemilikan yang tersebar tidak akan memberikan insentif kepada
pemilik untuk memonitor pengelolaan manajemen. Hal ini disebabkan para pemilik akan
menanggung sendiri biaya pengawasan (monitoring cost), sehingga semua pemilik akan
menikmati manfaat. Investor institusi mempunyai peranan dalam menyediakan
mekanisme yang dapat dipercaya terhadap penyajian informasi kepada investor. Peranan
itu terjadi disebabkan karena investor institusi merupakan investor yang sophisticated,
dan mempunyai daya pengendali yang lebih baik dibanding investor individu.
Salah satu prinsip corporate governance menurut Organization for Economic Cooperation
and Development (OECD) adalah menyangkut peranan dewan komisaris.
Bentuk dewan komisaris tergantung pada sistem hukum yang dianut. Terdapat dua
sistem yang berbeda, yaitu Anglo Saxon dan Kontinental Eropa (FCGI, 2001a). Dalam
sistem hukum Anglo Saxon, sistem yang dianut adalah sistem satu tingkat atau one tier
system. Pada sistem satu tingkat, perusahaan mempunyai satu dewan direksi yang
merupakan kombinasi antara manajer atau pengurus senior (direktur eksekutif) dan
direktur independen yang bekerja dengan prinsip paruh waktu (non direktur eksekutif).
Negara-negara yang menerapkan sistem ini adalah Amerika Serikat dan Inggris. Sistem
hukum Kontinental Eropa menganut sistem dua tingkat atau two tier system. Pada sistem
dua tingkat, perusahaan mempunyai dua badan terpisah, yaitu dewan pengawas (dewan
komisaris) dan dewan manajemen (dewan direksi). Dewan direksi bertugas mengelola
dan mewakili perusahaan sesuai dengan pengarahan dan pengawasan dewan komisaris.
Dewan direksi diangkat dan setiap waktu dapat diganti oleh badan pengawas (dewan
komisaris). Tugas utama dewan komisaris adalah bertanggungjawab mengawasi tugastugas
manajemen. Indonesia termasuk negara yang mengadopsi sistem dua tingkat ini.
Terdapat tiga elemen penting yang akan mempengaruhi tingkat efektivitas dewan
komisaris, yaitu independensi, kompetensi, dan komitmen. Independensi diharapkan
timbul dengan keberadaan komisaris independen. Kompetensi tercipta dengan adanya
komite-komite yang dibentuk dewan komisaris, terutama komite audit. Keberadaan
komisaris independen dimaksudkan untuk menciptakan iklim yang lebih obyektif dan
independen, dan juga untuk menjaga ”fairness” serta mampu memberikan keseimbangan
antara kepentingan pemegang saham mayoritas dan perlindungan terhadap kepentingan
pemegang saham minoritas, bahkan kepentingan para stakeholder lainnya.
Berdasar surat keputusan Ketua BAPEPAM KEP 41/PM/2003, SK Dir. BEJ
Nomor 315/BEJ/06-2000, Keputusan Menteri BUMN Nomor 117/Tahun 2000, dan
Undang-undang BUMN Nomor 19/2003, pembentukan komite audit merupakan suatu
keharusan. Komite audit harus diketuai oleh seorang komisaris independen. Komite
audit merupakan salah satu komite yang memiliki peranan penting dalam corporate
governance. Tugas komite audit adalah membantu dewan komisaris untuk memenuhi
tanggungjawabnya dalam memberikan pengawasan secara menyeluruh. Komite audit
beranggotakan komisaris independen (FCGI, 2001). Komite audit harus bebas dari
pengaruh direksi, eksternal auditor, sehingga komite audit hanya bertanggungjawab
kepada dewan komisaris. Komite audit memiliki tanggungjawab yang besar dalam
menyiapkan audit, melakukan ratifikasi terhadap sistem pengendalian internal, dan
memecahkan perselisihan dalam peraturan akuntansi (George, 2003).
Iskander dan Chamlou (2000) menyatakan bahwa salah satu elemen corporate
governance yang penting adalah transparansi (transparency) atau keterbukaan.
Keterbukaan adalah suatu tindakan untuk menjelaskan segala sesuatu yang dilakukan
oleh manajemen perusahaan kepada publik. Keterbukaan tidak mudah dilakukan jika
manajemen memiliki kepentingan dan informasi privat yang mendukung kepentingannya.
Kondisi seperti ini dapat terjadi jika dalam perusahaan terdapat manajemen yang
memiliki andil sebagai pemilik (managerial ownership). Semakin besar prosentase
kepemilikan manajerial, maka kemungkinan untuk melakukan keterbukaan semakin
kecil, sehingga perusahaan akan lebih memiliki risiko.
PERINGKAT OBLIGASI
Bursa Efek Surabaya (2001) mengartikan obligasi sebagai surat utang jangka
menengah-panjang yang dapat dipindahtangankan yang berisi janji dari pihak yang
menerbitkan untuk membayar imbalan berupa bunga pada periode tertentu dan melunasi
pokok utang pada waktu yang telah ditentukan kepada pihak pembeli obligasi tersebut.
Obligasi merupakan surat berharga yang memberikan pendapatan tetap kepada
pemiliknya selama jangka waktu berlakunya surat utang tersebut. Hal ini disebabkan
pendapatan yang diterima pemilik obligasi (pokok dan bunga) tidak terpengaruh oleh
perubahan harga sekuritas utang yang bersangkutan.
Peringkat obligasi merupakan indikator ketepatwaktuan pembayaran pokok dan
bunga utang obligasi. Selain itu, peringkat obligasi mencerminkan skala risiko dari
semua obligasi yang diperdagangkan. Dengan demikian peringkat obligasi menunjukkan
skala keamanan obligasi dalam membayar kewajiban pokok dan bunga secara tepat
waktu. Semakin tinggi peringkat, semakin menunjukkan bahwa obligasi tersebut
terhindar dari risiko default.
Peringkat obligasi diterbitkan oleh lembaga pemeringkat yang independen. Di
Indonesia terdapat dua lembaga pemeringkat sekuritas utang, yaitu PT PEFINDO
(Pemeringkat Efek Indonesia) dan Kasnic Credit Rating Indonesia. Lembaga
pemeringkat tersebut membantu investor dalam memberikan informasi investasi
mengenai kemampuan ekonomi dan finansial penerbit (issuer) obligasi. Peringkat
obligasi yang dilakukan oleh lembaga pemeringkat memberikan gambaran tentang
kredibilitas (credit worthiness) dan mempengaruhi penjualan obligasi tersebut (Fabozzi,
2000).
Peringkat obligasi menunjukkan kualitas kredit perusahaan penerbit. Semakin
tinggi peringkat yang diperoleh, semakin baik kualitas kredit. Rizzi (1994),
mengelompokkan peringkat obligasi menjadi dua, yaitu: investment grade (AAA-BBB-
[S&P]) dan non-investment grade/speculative grade (BB+-D[S&P]). Investment grade
merupakan obligasi yang berperingkat tinggi (high grade) yang mencerminkan risiko
kredit yang rendah (high creditworthiness). Non-investment grade merupakan obligasi
yang berperingkat rendah (low grade) yang mencerminkan risiko kredit yang tinggi (low
creditworthiness).
YIELD OBLIGASI
Faktor lain yang digunakan sebagai pertimbangan dalam investasi obligasi adalah
yield. Yield merupakan faktor pengukur tingkat pengembalian tahunan yang akan
diterima oleh investor, atau hasil yang akan diperoleh investor apabila menanamkan
dananya pada obligasi. Terdapat dua istilah dalam penentuan yield, yaitu current yield
dan yield to maturity (Fabozzi, 2000).
Current yield merupakan hubungan kupon bunga tahunan dengan harga pasar
obligasi.
Yield to maturity (YTM) adalah tingkat pengembalian yang akan diperoleh
investor apabila memiliki obligasi sampai jatuh tempo. Penghitungan YTM dilakukan
dengan memasukkan semua pembayaran kupon bunga sampai dengan tanggal jatuh
tempo dengan mengasumsikan adanya reinvestasi dari kupon yang diterima dengan
tingkat bunga yang sama dengan YTM tersebut (Kesumawati, 2003).
HASIL PENGUJIAN HIPOTESIS
Pengujian terhadap hipotesis 1b (H1b) membuktikan bahwa komisaris independen
menunjukkan hasil secara statistik signifikan pada α=0,05, ditunjukkan dengan angka
signifikansi sebesar 0,047 (<0,05).>
penelitian ini menolak H01b. Tanda koefisien positif tersebut sesuai dengan yang
diharapkan peneliti bahwa semakin besar jumlah komisaris independen maka peringkat
obligasinya akan semakin tinggi. Koefisien positif ini konsisten dengan penelitian
Bhojraj dan Sengupta (2003) yang menunjukkan bahwa jumlah komisaris independen
berhubungan positif dengan peringkat obligasi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
peringkat obligasi memperhatikan jumlah komisaris independen sebagai suatu lembaga
pengendali nilai perusahaan dan menjadi variabel utama sebagai penentu peringkat
obligasi.
Analisis pengujian untuk hipotesis kedua dengan multiple regression adalah
Pengujian terhadap hipotesis 2b (H2b) membuktikan bahwa kepemilikan institusi
menunjukkan hasil secara statistik signifikan pada α=0,05, ditunjukkan dengan angka
signifikansi sebesar 0,002 (<0,05).>
penelitian ini menolak H02b. Tanda koefisien negatif tersebut sesuai dengan yang
diharapkan peneliti bahwa semakin besar jumlah komisaris independen maka yield
obligasinya akan semakin rendah. Koefisien negatif ini konsisten dengan penelitian
Bhojraj dan Sengupta (2003) yang menunjukkan bahwa jumlah komisaris independen
berhubungan negatif dengan yield obligasi. Sesuai dengan H1b yang menunjukkan
bahwa jumlah komisaris independen berpengaruh positif terhadap peringkat, demikian
juga pengujian terhadap H2b yang menunjukkan bahwa jumlah komisaris independen
berpengaruh negatif yang secara statistik signifikan terhadap yield obligasi. Hal ini
menunjukkan bahwa jumlah komisaris independen merupakan salah satu variabel yang
dipertimbangkan investor dalam melakukan investasi dalam obligasi. Jumlah komisaris
independen yang semakin tinggi diharapkan dapat memaksimumkan nilai perusahaan.
Nilai perusahaan yang semakin tinggi akan menurunkan tingkat risiko dan menaikkan
harga jual obligasi, sehingga yield obligasi semakin rendah.
Pengujian terhadap hipotesis 2c (H2c) membuktikan bahwa keberadaan komite
audit menunjukkan hasil secara statistik signifikan pada α=0,05, ditunjukkan dengan
angka signifikansi sebesar 0,000 (<0,05).>
bahwa penelitian ini menolak H02c. Tanda koefisien negatif tersebut sesuai dengan yang
diharapkan peneliti bahwa dengan adanya komite audit maka yield obligasinya akan
semakin rendah. Hasil pengujian H2c ini menunjukkan bahwa keberadaan komite audit
akan menurunkan risiko perusahaan. Keberadaan komite audit meningkatkan nilai
perusahaan, sehingga investor akan bersedia membeli obligasi dengan harga yang lebih
tinggi. Dengan demikian, jika risiko perusahaan rendah, harga obligasi tinggi, maka yield
yang ditawarkan akan semakin rendah.
SIMPULAN PENELITIAN
Berdasar hasil pengujian seluruh hipotesis, maka secara keseluruhan penelitian ini
memberikan beberapa bukti empiris, yaitu:
1. Tidak semua elemen corporate governance berpengaruh terhadap peringkat
dan yield obligasi. Jumlah komisaris independen berpengaruh positif terhadap
peringkat obligasi dan negatif terhadap yield obligasi.
2. Keberadaan komite audit secara statistik signifikan berpengaruh negatif
terhadap yield obligasi. Hal ini menunjukkan bahwa keberadaan komite audit
merupakan variabel yang dipertimbangkan oleh investor dalam investasi
obligasi.
salam...
BalasHapussaya tertarik dengan jurnal "PENGARUH CORPORATE GOVERNANCE TERHADAP PERINGKAT OBLIGASI DAN YIELD OBLIGASI" untuk saya jadikan bahan skripsi selanjutnya...
cp: fahmi_arrafi86@yahoo.co.id
bX-i21k1r