Rabu, 25 November 2009

PENGARUH CORPORATE GOVERNANCE TERHADAP PERINGKAT OBLIGASI DAN YIELD OBLIGASI

Yudi Santara Setyapurnama, SE.,M.Si

A.M. Vianey Norpratiwi, SE.,M.Si

Abstract:

This paper investigated the effect of corporate governance to bond ratings and

bond yield. The proxies of corporate governance are institution ownership, independent

committe, audit committee, and managerial ownership. Those proxies are independent

variables, and the dependent variables are bond rating and bond yield. Logistic

regression (logit) is used to examine first hipothesis, and multiple regression is used to

examine second hypothesis. Sample are all bonds that issued period 2001-2003, and

data are collected from Surabaya Stock Exchage and PT PEFINDO.

The paper proved that implementation of corporate governance influences bond

ratings and yields. The existence of independent committee have positive effect to bond

rating but the opposite effect is to bond yield. The better of corporate governance

implementation the higher bond ratings, but bond yields will decresase.. The existence of

audit committee have negative effect to bond yield. It concluded that the existence of

aucit committee give effect for investor judgement.

PENDAHULUAN

Investasi digolongkan menjadi dua jenis, yaitu investasi dalam surat kepemilikan

(saham) dan investasi dalam surat utang (obligasi). Fabozzi (2000) mendefinisikan

obligasi sebagai suatu instrumen utang yang ditawarkan oleh penerbit (issuer) yang juga

disebut debitur atau peminjam (borrower) untuk membayar kembali kepada investor

(lender) sejumlah yang dipinjam ditambah bunga selama tahun yang ditentukan.

Obligasi lebih memberikan jaminan pengembalian dan keuntungan dibanding investasi

saham. Di Bursa Efek Surabaya sampai dengan tahun 2003 telah terdapat 92 emiten

yang menerbitkan obligasi dan 180 obligasi yang diperdagangkan. Hal ini menunjukkan

pasar obligasi merupakan suatu instrumen yang dapat dijadikan sebagai suatu alternatif

investasi.

Faerber (2000) menyatakan bahwa investor lebih memilih berinvestasi pada

obligasi dibanding saham karena dua alasan, yaitu: (1) volatilitas saham lebih tinggi

dibanding obligasi, sehingga mengurangi daya tarik investasi pada saham, dan (2)

obligasi menawarkan tingkat pengembalian yang positif dengan pendapatan tetap (fixed

income), sehingga obligasi lebih memberikan jaminan dibanding saham. Jewell dan

Livingston (2000) menyatakan bahwa investor menghadapi masalah informasi yang

disebabkan beragamnya karakteristik dari penerbit obligasi. Peringkat (rating) obligasi

yang diterbitkan oleh lembaga independen membantu mengurangi masalah informasi

tersebut. Selain peringkat, faktor lain yang dipertimbangkan oleh investor obligasi

adalah return obligasi. Return obligasi merupakan hasil yang akan diperoleh investor

apabila melakukan investasi pada obligasi. Return obligasi ini dinyatakan dalam yield.

Pada tahun 2001, Komite Nasional Kebijakan Corporate Governance

menerbitkan pedoman good corporate governance. Pedoman ini bertujuan agar dunia

bisnis memiliki acuan dasar yang memadahi mengenai konsep serta pola pelaksanaan

good corporate governance yang sesuai dengan pola internasional umumnya dan

Indonesia khususnya. Penerapan corporate governance diharapkan memaksimumkan

nilai perseroan bagi perseroan tersebut dan bagi pemegang saham. Ball (1998) dalam

Evans et al. (2002), mengartikan corporate governance sebagai seperangkat kesepakatan

atau aturan institusi yang secara efektif mengatur pengambilan keputusan. Corporate

governance mempunyai hubungan positif dengan peringkat obligasi dan berhubungan

negatif dengan yield obligasi (Bhojraj dan Sengupta, 2003).

Penelitian terhadap corporate governance di Indonesia banyak dihubungkan

dengan harga saham ataupun kinerja perusahaan. Penelitian corporate governance

terhadap obligasi di Indonesia merupakan penelitian yang jarang dilakukan. Hal ini

disebabkan karena keterbatasan data obligasi serta pengetahuan para investor terhadap

obligasi. Selain itu, Wansley et al. (1992) menyatakan bahwa sebagian besar

perdagangan obligasi dilakukan melalui pasar negosiasi (over the counter market) dan

secara historis tidak terdapat informasi harga yang tersedia pada saat penerbitan atau saat

penjualan. Dengan tidak tersedianya informasi tersebut membuat pasar obligasi menjadi

tidak semeriah pasar saham.

Tujuan penelitian ini adalah menguji pengaruh penerapan corporate governance

terhadap peringkat dan yield obligasi. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan

wawasan kepada para pembaca dalam melakukan investasi terhadap obligasi terutama

dalam mempertimbangkan penerapan corporate governance pada perusahaan penerbit.

Penelitian ini mengangkat isu mengenai pengaruh corporate governance terhadap

peringkat dan yield obligasi.

LANDASAN TEORI

TEORI KEAGENAN

Hubungan keagenan merupakan suatu kontrak antara principal dengan agent.

Menurut Darmawati et al. (2005), inti dari hubungan keagenan adalah adanya pemisahan

antara kepemilikan (principal/investor) dan pengendalian (agent/manajer). Kepemilikan

diwakili oleh investor mendelegasikan kewenangan kepada agen dalam hal ini manajer

untuk mengelola kekayaan investor. Investor mempunyai harapan bahwa dengan

mendelegasikan wewenang pengelolaan tersebut, mereka akan memperoleh keuntungan

dengan bertambahnya kekayaan dan kemakmuran investor.

Hubungan keagenan dapat menimbulkan masalah pada saat pihak-pihak yang

bersangkutan mempunyai tujuan yang berbeda. Pemilik modal menghendaki

bertambahnya kekayaan dan kemakmuran para pemilik modal, sedangkan manajer juga

menginginkan bertambahnya kesejahteraan bagi para manajer. Dengan demikian

muncullah konflik kepentingan antara pemilik (investor) dengan manajer (agen). Pemilik

lebih tertarik untuk memaksimumkan return dan harga sekuritas dari investasinya,

sedangkan manajer mempunyai kebutuhan psikologis dan ekonomi yang luas, termasuk

memaksimumkan kompensasinya. Kontrak yang dibuat antara pemilik dengan manajer

diharapkan dapat meminimumkan konflik antar kedua kepentingan tersebut. Alijoyo dan

Zaini (2004) beranggapan bahwa pemisahan fungsi eksekutif dan fungsi pengawasan

pada teori keagenan menciptakan “checks and balances”, sehingga terjadi independensi

yang sehat bagi para manajer untuk menghasilkan kinerja perusahaan yang maksimum

dan return yang memadahi bagi para pemegang saham.

Teori keagenan dilandasi dengan tiga asumsi (Eisenhardt, 1989), yaitu: asumsi

sifat manusia (human assumptions), asumsi keorganisasian (organizational assumptions),

dan asumsi informasi (information assumptions). Asumsi sifat manusia dikelompokkan

menjadi tiga, yaitu: (1) self-interest, yaitu sifat manusia untuk mengutamakan

kepentingan diri sendiri, (2) bounded-rationality, yaitu sifat manusia yang memiliki

keterbatasan rasionalitas, dan (3) risk aversion, yaitu sifat manusia yang lebih memilih

mengelak dari risiko. Asumsi keorganisasian dikelompokkan menjadi tiga, yaitu: (1)

konfik sebagian tujuan antar partisipan, (2) efisiensi sebagai suatu kriteria efektivitas, dan

(3) asimetri informasi antara pemilik dan agen. Asumsi informasi merupakan asumsi

yang menyatakan bahwa informasi merupakan suatu komoditas yang dapat dibeli. Teori

keagenan lebih menekankan pada penentuan pengaturan kontrak yang efisien dalam

hubungan pemilik dengan agen. Kontrak yang efisien adalah kontrak yang jelas untuk

masing-masing pihak yang berisi tentang hak dan kewajiban, sehingga dapat

meminimumkan konflik keagenan.

Corporate governance merupakan suatu mekanisme pengelolaan yang didasarkan

pada teori keagenan. Penerapan konsep corporate governance diharapkan memberikan

kepercayaan terhadap agen (manajemen) dalam mengelola kekayaan pemilik (investor),

dan pemilik menjadi lebih yakin bahwa agen tidak akan melakukan suatu kecurangan

untuk kesejahteraan agen.

CORPORATE GOVERNANCE

Corporate governance timbul karena kepentingan perusahaan untuk memastikan

kepada pihak penyandang dana (principal/investor) bahwa dana yang ditanamkan

digunakan secara tepat dan efisien. Selain itu dengan corporate governance, perusahaan

memberikan kepastian bahwa manajemen (agent) bertindak yang terbaik demi

kepentingan perusahaan. Forum for Corporate Governance in Indonesia/FCGI (2001b)

mendefinisikan corporate governance sebagai seperangkat peraturan yang mengatur

hubungan antara pemegang saham, pengurus (pengelola) perusahaan, pihak kreditur,

pemerintah, karyawan serta para pemegang kepentingan internal dan eksternal lainnya

yang berkaitan dengan hak-hak dan kewajiban mereka, sehingga menciptakan nilai

tambah bagi semua pihak yang berkepentingan (stakeholder). Nilai tambah yang

dimaksud adalah corporate governance memberikan perlindungan efektif terhadap

investor dalam memperoleh kembali investasinya dengan wajar dan bernilai tinggi.

Penerapan corporate governance memberikan empat manfaat (FCGI, 2001),

yaitu: (1) meningkatkan kinerja perusahaan melalui terciptanya proses pengambilan

keputusan yang lebih baik, meningkatkan efisiensi perusahaan, serta lebih meningkatkan

pelayanan kepada stakeholders, (2) mempermudah diperolehnya dana pembiayaan yang

lebih murah dan tidak rigit (karena faktor kepercayaan) yang pada akhirnya akan

meningkatkan corporate value, (3) mengembalikan kepercayaan investor untuk

menanamkan modalnya di Indonesia, dan (4) pemegang saham akan merasa puas dengan

kinerja perusahaan karena sekaligus akan meningkatkan shareholders’s values dan

dividen.

Sifat masalah keagenan secara langsung berhubungan dengan struktur

kepemilikan. Strukur kepemilikan yang tersebar tidak akan memberikan insentif kepada

pemilik untuk memonitor pengelolaan manajemen. Hal ini disebabkan para pemilik akan

menanggung sendiri biaya pengawasan (monitoring cost), sehingga semua pemilik akan

menikmati manfaat. Investor institusi mempunyai peranan dalam menyediakan

mekanisme yang dapat dipercaya terhadap penyajian informasi kepada investor. Peranan

itu terjadi disebabkan karena investor institusi merupakan investor yang sophisticated,

dan mempunyai daya pengendali yang lebih baik dibanding investor individu.

Salah satu prinsip corporate governance menurut Organization for Economic Cooperation

and Development (OECD) adalah menyangkut peranan dewan komisaris.

Bentuk dewan komisaris tergantung pada sistem hukum yang dianut. Terdapat dua

sistem yang berbeda, yaitu Anglo Saxon dan Kontinental Eropa (FCGI, 2001a). Dalam

sistem hukum Anglo Saxon, sistem yang dianut adalah sistem satu tingkat atau one tier

system. Pada sistem satu tingkat, perusahaan mempunyai satu dewan direksi yang

merupakan kombinasi antara manajer atau pengurus senior (direktur eksekutif) dan

direktur independen yang bekerja dengan prinsip paruh waktu (non direktur eksekutif).

Negara-negara yang menerapkan sistem ini adalah Amerika Serikat dan Inggris. Sistem

hukum Kontinental Eropa menganut sistem dua tingkat atau two tier system. Pada sistem

dua tingkat, perusahaan mempunyai dua badan terpisah, yaitu dewan pengawas (dewan

komisaris) dan dewan manajemen (dewan direksi). Dewan direksi bertugas mengelola

dan mewakili perusahaan sesuai dengan pengarahan dan pengawasan dewan komisaris.

Dewan direksi diangkat dan setiap waktu dapat diganti oleh badan pengawas (dewan

komisaris). Tugas utama dewan komisaris adalah bertanggungjawab mengawasi tugastugas

manajemen. Indonesia termasuk negara yang mengadopsi sistem dua tingkat ini.

Terdapat tiga elemen penting yang akan mempengaruhi tingkat efektivitas dewan

komisaris, yaitu independensi, kompetensi, dan komitmen. Independensi diharapkan

timbul dengan keberadaan komisaris independen. Kompetensi tercipta dengan adanya

komite-komite yang dibentuk dewan komisaris, terutama komite audit. Keberadaan

komisaris independen dimaksudkan untuk menciptakan iklim yang lebih obyektif dan

independen, dan juga untuk menjaga ”fairness” serta mampu memberikan keseimbangan

antara kepentingan pemegang saham mayoritas dan perlindungan terhadap kepentingan

pemegang saham minoritas, bahkan kepentingan para stakeholder lainnya.

Berdasar surat keputusan Ketua BAPEPAM KEP 41/PM/2003, SK Dir. BEJ

Nomor 315/BEJ/06-2000, Keputusan Menteri BUMN Nomor 117/Tahun 2000, dan

Undang-undang BUMN Nomor 19/2003, pembentukan komite audit merupakan suatu

keharusan. Komite audit harus diketuai oleh seorang komisaris independen. Komite

audit merupakan salah satu komite yang memiliki peranan penting dalam corporate

governance. Tugas komite audit adalah membantu dewan komisaris untuk memenuhi

tanggungjawabnya dalam memberikan pengawasan secara menyeluruh. Komite audit

beranggotakan komisaris independen (FCGI, 2001). Komite audit harus bebas dari

pengaruh direksi, eksternal auditor, sehingga komite audit hanya bertanggungjawab

kepada dewan komisaris. Komite audit memiliki tanggungjawab yang besar dalam

menyiapkan audit, melakukan ratifikasi terhadap sistem pengendalian internal, dan

memecahkan perselisihan dalam peraturan akuntansi (George, 2003).

Iskander dan Chamlou (2000) menyatakan bahwa salah satu elemen corporate

governance yang penting adalah transparansi (transparency) atau keterbukaan.

Keterbukaan adalah suatu tindakan untuk menjelaskan segala sesuatu yang dilakukan

oleh manajemen perusahaan kepada publik. Keterbukaan tidak mudah dilakukan jika

manajemen memiliki kepentingan dan informasi privat yang mendukung kepentingannya.

Kondisi seperti ini dapat terjadi jika dalam perusahaan terdapat manajemen yang

memiliki andil sebagai pemilik (managerial ownership). Semakin besar prosentase

kepemilikan manajerial, maka kemungkinan untuk melakukan keterbukaan semakin

kecil, sehingga perusahaan akan lebih memiliki risiko.

PERINGKAT OBLIGASI

Bursa Efek Surabaya (2001) mengartikan obligasi sebagai surat utang jangka

menengah-panjang yang dapat dipindahtangankan yang berisi janji dari pihak yang

menerbitkan untuk membayar imbalan berupa bunga pada periode tertentu dan melunasi

pokok utang pada waktu yang telah ditentukan kepada pihak pembeli obligasi tersebut.

Obligasi merupakan surat berharga yang memberikan pendapatan tetap kepada

pemiliknya selama jangka waktu berlakunya surat utang tersebut. Hal ini disebabkan

pendapatan yang diterima pemilik obligasi (pokok dan bunga) tidak terpengaruh oleh

perubahan harga sekuritas utang yang bersangkutan.

Peringkat obligasi merupakan indikator ketepatwaktuan pembayaran pokok dan

bunga utang obligasi. Selain itu, peringkat obligasi mencerminkan skala risiko dari

semua obligasi yang diperdagangkan. Dengan demikian peringkat obligasi menunjukkan

skala keamanan obligasi dalam membayar kewajiban pokok dan bunga secara tepat

waktu. Semakin tinggi peringkat, semakin menunjukkan bahwa obligasi tersebut

terhindar dari risiko default.

Peringkat obligasi diterbitkan oleh lembaga pemeringkat yang independen. Di

Indonesia terdapat dua lembaga pemeringkat sekuritas utang, yaitu PT PEFINDO

(Pemeringkat Efek Indonesia) dan Kasnic Credit Rating Indonesia. Lembaga

pemeringkat tersebut membantu investor dalam memberikan informasi investasi

mengenai kemampuan ekonomi dan finansial penerbit (issuer) obligasi. Peringkat

obligasi yang dilakukan oleh lembaga pemeringkat memberikan gambaran tentang

kredibilitas (credit worthiness) dan mempengaruhi penjualan obligasi tersebut (Fabozzi,

2000).

Peringkat obligasi menunjukkan kualitas kredit perusahaan penerbit. Semakin

tinggi peringkat yang diperoleh, semakin baik kualitas kredit. Rizzi (1994),

mengelompokkan peringkat obligasi menjadi dua, yaitu: investment grade (AAA-BBB-

[S&P]) dan non-investment grade/speculative grade (BB+-D[S&P]). Investment grade

merupakan obligasi yang berperingkat tinggi (high grade) yang mencerminkan risiko

kredit yang rendah (high creditworthiness). Non-investment grade merupakan obligasi

yang berperingkat rendah (low grade) yang mencerminkan risiko kredit yang tinggi (low

creditworthiness).

YIELD OBLIGASI

Faktor lain yang digunakan sebagai pertimbangan dalam investasi obligasi adalah

yield. Yield merupakan faktor pengukur tingkat pengembalian tahunan yang akan

diterima oleh investor, atau hasil yang akan diperoleh investor apabila menanamkan

dananya pada obligasi. Terdapat dua istilah dalam penentuan yield, yaitu current yield

dan yield to maturity (Fabozzi, 2000).

Current yield merupakan hubungan kupon bunga tahunan dengan harga pasar

obligasi.

Yield to maturity (YTM) adalah tingkat pengembalian yang akan diperoleh

investor apabila memiliki obligasi sampai jatuh tempo. Penghitungan YTM dilakukan

dengan memasukkan semua pembayaran kupon bunga sampai dengan tanggal jatuh

tempo dengan mengasumsikan adanya reinvestasi dari kupon yang diterima dengan

tingkat bunga yang sama dengan YTM tersebut (Kesumawati, 2003).

HASIL PENGUJIAN HIPOTESIS

Pengujian terhadap hipotesis 1b (H1b) membuktikan bahwa komisaris independen

menunjukkan hasil secara statistik signifikan pada α=0,05, ditunjukkan dengan angka

signifikansi sebesar 0,047 (<0,05).>

penelitian ini menolak H01b. Tanda koefisien positif tersebut sesuai dengan yang

diharapkan peneliti bahwa semakin besar jumlah komisaris independen maka peringkat

obligasinya akan semakin tinggi. Koefisien positif ini konsisten dengan penelitian

Bhojraj dan Sengupta (2003) yang menunjukkan bahwa jumlah komisaris independen

berhubungan positif dengan peringkat obligasi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa

peringkat obligasi memperhatikan jumlah komisaris independen sebagai suatu lembaga

pengendali nilai perusahaan dan menjadi variabel utama sebagai penentu peringkat

obligasi.

Analisis pengujian untuk hipotesis kedua dengan multiple regression adalah

Pengujian terhadap hipotesis 2b (H2b) membuktikan bahwa kepemilikan institusi

menunjukkan hasil secara statistik signifikan pada α=0,05, ditunjukkan dengan angka

signifikansi sebesar 0,002 (<0,05).>

penelitian ini menolak H02b. Tanda koefisien negatif tersebut sesuai dengan yang

diharapkan peneliti bahwa semakin besar jumlah komisaris independen maka yield

obligasinya akan semakin rendah. Koefisien negatif ini konsisten dengan penelitian

Bhojraj dan Sengupta (2003) yang menunjukkan bahwa jumlah komisaris independen

berhubungan negatif dengan yield obligasi. Sesuai dengan H1b yang menunjukkan

bahwa jumlah komisaris independen berpengaruh positif terhadap peringkat, demikian

juga pengujian terhadap H2b yang menunjukkan bahwa jumlah komisaris independen

berpengaruh negatif yang secara statistik signifikan terhadap yield obligasi. Hal ini

menunjukkan bahwa jumlah komisaris independen merupakan salah satu variabel yang

dipertimbangkan investor dalam melakukan investasi dalam obligasi. Jumlah komisaris

independen yang semakin tinggi diharapkan dapat memaksimumkan nilai perusahaan.

Nilai perusahaan yang semakin tinggi akan menurunkan tingkat risiko dan menaikkan

harga jual obligasi, sehingga yield obligasi semakin rendah.

Pengujian terhadap hipotesis 2c (H2c) membuktikan bahwa keberadaan komite

audit menunjukkan hasil secara statistik signifikan pada α=0,05, ditunjukkan dengan

angka signifikansi sebesar 0,000 (<0,05).>

bahwa penelitian ini menolak H02c. Tanda koefisien negatif tersebut sesuai dengan yang

diharapkan peneliti bahwa dengan adanya komite audit maka yield obligasinya akan

semakin rendah. Hasil pengujian H2c ini menunjukkan bahwa keberadaan komite audit

akan menurunkan risiko perusahaan. Keberadaan komite audit meningkatkan nilai

perusahaan, sehingga investor akan bersedia membeli obligasi dengan harga yang lebih

tinggi. Dengan demikian, jika risiko perusahaan rendah, harga obligasi tinggi, maka yield

yang ditawarkan akan semakin rendah.

SIMPULAN PENELITIAN

Berdasar hasil pengujian seluruh hipotesis, maka secara keseluruhan penelitian ini

memberikan beberapa bukti empiris, yaitu:

1. Tidak semua elemen corporate governance berpengaruh terhadap peringkat

dan yield obligasi. Jumlah komisaris independen berpengaruh positif terhadap

peringkat obligasi dan negatif terhadap yield obligasi.

2. Keberadaan komite audit secara statistik signifikan berpengaruh negatif

terhadap yield obligasi. Hal ini menunjukkan bahwa keberadaan komite audit

merupakan variabel yang dipertimbangkan oleh investor dalam investasi

obligasi.